Jumat, 28 Desember 2007

POLITIK KEUMATAN NU

Oleh: Ja'far Shodiq

Ormas Islam terbesar di Indonesia bahkan di dunia, Nahdlatul Ulama, pada setiap mnghadapi Pemilu di negeri ini tampaknya selalu bergolak. Masih terngiang dalam ingatan kita ketika pada tahun 2004 yang lalu ketua umum PBNU, K.H Hasyim Muzadi mencalonkan sebagai wakil presiden berpasangan dengan Megawati, yang dihiasi "fatwa" dukung-mendukung oleh para kiai, ternyata membalik logika linier para kiai, bahwa warga Nahdlatul Ulama (NU) telah berpikir kritis dan rasional berhadapan dengan otoritas elite (struktur) NU dalam menentukan pilihan politiknya. Ini terbukti dengan kekalahan seorang ketua umum PBNU sebagai calon wakil presiden di republik ini.

Dalam momentum pemilihan kepala daerah Jawa Tengah (Pilgub) yang akan digelar sekitar bulan Juni 2008 juga tidak luput dari pergolakan politik warga NU. Hal ini bisa kita lihat dengan majunya ketua umum tanfidziyah NU Jateng, H. Muhammad Adnan sebagai calon wakil gubernur berpasangan dengan Bambang Sadono, ketua umum DPD Partai Golkar Jawa Tengah yang dideklarasikan pada 8 Nopember tahun ini di Kaliwungu Kendal. Tanpa hendak mendahului segala sesuatu yang akan terjadi dan kita belum mengetahuinya, apakah NU yang direpresentasikan oleh ketua-nya ini akan bernasib sama dengan pengalaman K.H Hasyim Muzadi ketika maju sebagai calon wakil presiden atau sebaliknya?

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengintervensi hak-hak privat, tapi sebagai generasi muda NU, penulis merasa perlu untuk share ide dalam rangka khidmat NU agar orientasi perjuangan NU tetap menitikberatkan pada kepentingan umat dan bangsa dengan payung agama Islam rahmatan lil ‘alamin sebagaimana latar belakang pendiriannya oleh Hadlaratus Syaikh K.H Hasyim Asy’ari bersama beberapa kiai lainnya.

NU memang didirikan untuk kepentingan politik, tapi lebih pada politik keummatan dan kebangsaan, bukan politik kekuasaan. Hal ini bisa dilihat dari kontribusi NU ketika melalui Hadlaratus Syaikh K.H Hasyim Asy’ari memfatwakan resolusi jihad demi menjaga kedaulatan bangsa dan kedaulatan umat. Resolusi jihad yang difatwakan pada 23 Oktober 1945 tersebut berisi tigaseruan penting. Pertama, setiap muslim -tua, muda, dan miskin sekalipun- wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia. Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada. Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati. Ini adalah sebagian dari sekian banyak bukti peran politik kebangsaan NU.

Tapi semenjak reformasi digulirkan di negeri ini, peran NU seolah bergeser, dari gerakan politik keummatan-kebangsaan menjadi gerakan politik kekuasaan. Tidak sedikit kita jumpai pejabat-pejabat struktural NU yang memanfaatkan jama’ahnya untuk mencalonkan diri dalam jabatan politik-kekuasaan (pemerintahan). Jarang kita jumpai gerakan NU yang melakukan pendampingan terhadap petani, pemberdayaan masyarakat ekonom lemah, dsb.

Kembali ke Khittah
Keputusan kembali ke Khittah NU 1926 yang dihasilkan oleh Muktamar NU ke 27 di Situbondo adalah merupakan komitmen yang telah disepakati secara kolektif (organisatoris) untuk gerakan keummatan NU di muka bumi ini. NU yang pada tahun 1955-1971 menjadi partai politik, sejak khittah NU 1984 berarti NU secara structural kembali kepada organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. Prinsip organisasi ini harus dijaga, sehingga NU tidak selalu menjadi tumbal politik hanya karena kelatahannya ikut-ikutan berebut kekuasaan.

Hari ini, dalam krisis multi-dimensi yang menimpa bangsa ini NU dituntut untuk mengorientasikan gerakan keummatan dan kebangsaan secara riil yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan umatdengan melakukan kerja-kerja sosial yang meliputi perbaikan hidup masyarakat, baik pendidikan, keagamaan, ekonomi, dan sosial.

Secara sederhana, kalau kita mau memahami khittah 1926 NU maka kita perlu mengingat kembali sejarah ketika jam’iyyah NU itu didirikan. Jam’iyyah NU dideklarasikan pada 31 Januari 1926/16 Rajab 1344 H di Surabaya. Kelahiran organisasi “kaum pesantren” ini dibidani KH Hasyim Asy'ari dan K. Wahab Hasbullah. Sebelum jam’iyyah ini dideklarasikan para kiai pesantren tersebut sudah melakukan gerakan-gerakan keummatan secara nyata, yaitu diantaranya dengan membentuk organisasi Kebangkitan Bangsa (Nahdlatul Wathan), organisasi Kebangkitan Pengusaha (Nahdlatu Tujjar), dan organisasi yang bergerak di bidang Konsptualisasi Pemikiran (Tashwirul Afkar).

Nahdlatul Wathan yang didirikan tahun 1916 oleh KH Wahab Hasbullah menjadi modal pertama mengorganisasi kelompok pesantren dalam agenda politik kebangsaan. Sesuai namanya, terbentuknya Nahdlatul Wathan didasarkan pada keinginan menumbuhkan semangat nasionalisme melalui pendidikan. Dua tahun berikutnya, 1918, KH. Wahab Hasbullah membentuk koperasi pedagang dikenal dengan Nahdlatu Tujjar yang mencerminkan kesadaran akan kepentingan ekonomi umat. Ini contoh dari gerakan keummatan yang telah dirintis oleh para pendahulu NU, bukan gerakan kekuasaan seperti yang terjadi di NU hari ini.

Para ulama pendiri NU berjuang dengan penuh keikhlasan untuk memelihara tradisi keagamaan yang sesuai dengan kultur masyarakat Jawa dengan berpegang pada prinsip-prinsip aqidah dan syariat Islam yang diseimbangkan (tawazun) dengan nilai-nilai luhur kebudayaan tanah Jawa. Mereka juga memegang prinsip toleransi (tasamuh) sebagai sebuah sikap menghargai pluralitas bangsa, menegakkan kemerdekaan (hurriyah) atas penjajahan ataupun kekuasaan yang hegemonik dan menindas, menegakkan keadilan (al-adlu) atas kesewenag-wenangan penguasa dalam menjalankan aturan-aturan untuk kepentingan umat, serta beperan dalam menciptakan perdamaian (al islah).

Politik Strategis bukan Politik Praktis
Adagium “NU ada dimana-mana tapi tidak kemana-mana” yang sering kita dengar hendaknya bisa menjadi refleksi gerakan keummatan kalangan NU struktural. Menurut penulis, untuk mengimplementasikan adagium ini bisa dengan melakukan tiga hal: Pertama, NU harus segera melakukan kaderisasi yang massif kepada warganya untuk menyiapkan SDM yang mampu memberikan solusi terhadap multi persoalan yang sedang dihadapi bangsa ini.
Kedua, NU perlu segera membagi peran (sebaran) kader yang sudah siap untuk berkompetisi ke berbagai sektor, baik sektor keagamaan, politik, ekonomi (modal), birokrasi, profesional, dsb. Ketiga, NU secara struktural (termasuk yang sudah berkomitmen menjadi pengurus) tidak boleh terlibat dalam kancah politik praktis karena pengurus NU dengan NU adalah ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Artinya kalau pengurusnya berpolitik maka NU juga berpolitik.
Dengan mengimplementasikan tiga hal di atas, maka gerakan politik yang dilakukan oleh NU adalah gerakan politik strategis bukan gerakan politik praktis. Karena politik praktis ini yang tidak dikehendaki oleh khittah NU 1926. Gerakan politik strategis adalah gerakan politik untuk kepentingan ummat dan bersifat jangka panjang, sedangkan gerakan politik praktis adalah gerakan politik untuk kepentingan kekuasaan dan terlalu sulit untuk menjadi ukuran gerakan kolektifitas. Apalagi bagi NU yang bukan organisasi politik.
Untuk menyelamatkan jam’iyyah NU agar tidak selalu dijadikan sebagai batu loncatan kekuasaan dan agar tidak terlalu jauh terjerembab dalam lumpur politik praktis, maka para kiai atau ulama sebagai penyangga organisasi Islam terbesar ini hendaknya bisa menjaga dan mengarahkan agar kebijakan jam’iyyah NU tetap berada dalam jalur yang semestinya, yakni jalur keummatan bukan jalur kekuasaan.[jf]

Tidak ada komentar: