Sabtu, 29 Desember 2007

Mempraktikkan Politik Profetik

Oleh: Ja'far Shodiq

Politik profetik adalah perjuangan di ranah social kemasyarakatan, sekaligus kenegaraan dan kebangsaan untuk mewujudkan kesejahteraan, keadilan, kemakmuran dan kehidupan yang beradab sebagaiman telah dicontohkan oleh para Nabi, terutama Nabi Muhammad SAW.

Politik profetik ini dijalankan atas kesadaran diri, bahwa fitrah penciptaan manusia oleh Allah SWT adalah untuk mengabdi kepada-Nya [Q.S.Al-Dzariyat:56], sekaligus untuk mewakili-Nya menata kehidupan yang membawa rahmat bagi seluruh penghuni alam. Inilah manivestasi kekhalifahan manusia sebagaimana telah difirmankan oleh Allah SWT [Q.S.Al-Baqarah:30]. Peran penghambaan beserta kekhalifahan ini tidak mungkin dilakukan oleh makhluk Allah SAW selain manusia.

Kenapa gagasan tentang politik profetik ini perlu penulis tulis? Pertama, karena semenjak 62 tahun yang lalu, ketika bangsa ini menyatakan kemerdekaannya menjadi bangsa Indonesia Merdeka, tujuan secara substansial dari kemerdekaan itu sendiri belum terwujud. Secara sederhana kita dapat memahami tujuan dasar kemerdekaan Indonesia adalah terumus dalam Pancasila dan UUD 1945. Keadilan, kesejahteraan, kemakmuran dan kehidupan yang beradab belum terwujud, bahkan sampai pada era pasca-reformasi saat ini juga belum begitu terasa kemajuannya, terutama menyangkut kedaulatan Negara dan bangsa, baik dari sisi politik, ekonomi, serta budayanya.

Kedua, realitas politik dari hari ke hari semakin dipenuhi dengan konflik elite, baik itu elite partai, kelompok, maupun elite pemerintahan. Seolah politik sudah mengalami dis-orientasi, yang seharusnya mengayomi umat tapi berbalik menjadi mengakali umat, yang seharusnya memperjuangkan hak-hak rakyat berubah menjadi menindas hak-hak rakyat, yang seharusnya mempelopori perdamaian dan persaudaraan kemanusiaan tapi malah memprovokasi pertikaian dan permusuhan terhadap sesama. Realitas ini cukup paradoks bagi bangsa yang mayoritas masyarakatnya sangat religius ini.

Maka bagi penulis, kita perlu kembali pada semangat kenabian (profetik) terutama dalam menjalankan praktik politik-nya. Ketika semangat ini menjadi dasar atau niat awal, maka insya-Allah akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini.

Strategi Politik Rasulullah

Politik dalam Islam disebut dengan istilah Siyasyah (Indonesia: siasat), tapi siasat di sini adalah dalam makna positif. Siasat dijalankan adalah dalam kerangka memenuhi kemaslahatan, bukan kemadlaratan. Ini sesuai dengan kaidah fiqih "tasharruf al-imam 'ala al-ra'iyyah manut bil maslahah" (kebijakan penguasa politik yang diberlakukan untuk warga Negara harus berorientasi pada kemaslahatan atau kesejahteraan umat).

Abdul Wahhab Khallaf memberikan tiga kriteria tentang kesejahteraan ummat (al-maslahah al-'ammah), yaitu: (1) kemaslahatn itu bersifat esensial, yaitu kepentingan yang secara praksis-operasional mampu mewujudkan kesejahteraan umum dan mencegah timbulnya kerusakan; (2) maslahah itu ditujukan untuk kepentingan rakyat banyak, bukan semata-mata individu; dan (3) maslahah itu tidak bertentangan dengan ketentuan atau dalil-dalil umum atau nash. (Partai Advokasi, DPP PKB & KLiK_R, 2004).

Nabi Muhammad SAW juga telah mempraktikkan politik dalam arti strategi atau siyasyah sebagaimana tercatat dalam sejarah perjanjian hudaibiyah yang merupakan momentum awal kemenangan syi'ar Islam sebagai misi keselamatan universal yang dibawa oleh beliau.

Dalam perjanjian hudaibiyah yang diikrarkan oleh Rasulullah dari pihak Muslim dan Suhail bin Amer dari pihak Kafir Qurays, dengan Ali bin Abi Thalib sebagai penulisnya yang berisi empat kesepakatan, yaitu: (1) menghentikan perang selama 10 tahun, dimana keamanan semua manusia terjamin di dalamnya, sebagian dari mereka harus menahan diri dari sebagian yang lainnya; (2) siapa saja dari pengikut Muhammad dari Mekah yang datang –berhijrah- kepadanya tanpa izin dari walinya, maka Muhammad wajib mengembalika sahabat tersebut. Tapi apabila pengikut Muhammad di Madinah ada yang dating ke Mekah (Qurays), kaum qurays tidak wajib mengembalikan kepada Muhammad; (3) sesungguhnya diantara kita terdapat perdamaian yang menahan terjadinya perang, tidak boleh mencuri dan tidak boleh berkhianat; (4) Dan seseungguhnya engkau (Muhammad) harus kembali ke Madinah pada tahun ini, engkau tidak boleh masuk bersama kami di Mekah. Pada tahun depan, kami akan keluar dari Mekah, dan engkau boleh masuk Mekah bersama sahabat-sahabatmu dan menetap selama tiga hari saja. (lihat Tafsir Ibnu Katsir juz IV hlm.196)

Dari teks perjajian hudaibiyah di atas, secara sepintas terlihat merugikan kaum muslimin dan Nabi Muhammad. Para sahabat, terutama Umar bin Khottob juga melakukan protes kepada Rasulullah, terutama terhadap perjajian butir ke-2 dan ke-4 yang dalam hitungan para sahabat dan Umar adalah merugikan kaum muslimin. Tapi Rasulullah mempunyai strategi lain, yaitu dengan perjanjian ini kaum muslim yang sebelumnya tidak pernah diakui oleh kaum kafir Qurays tanpa mereka sadari telah diakui eksistensintya. Selain itu dengan perjanjian butir ke-1 dan ke-3 kaum muslimin bisa melakukan syi'ar Islam dengan leluasa, tidak seperti biasanya yang selalu terjadi perang. Berawal dari strategi politik inilah misi Rasulullah untuk menyebarkan Islam sebagai agama penyelamat bagi umat manusia mengalami keberhasilan yang luar biasa.

Pelajaran yang dapat kita petik adalah, dalam menjalankan misi politiknya Rasulullah selalu mempunyai orientasi jangka pendek dan jangka panjang dengan menghitung potensi kemaslahatan dan kemadlaratannya. Ukuran mendasarnya adalah terwujudnya kemasalahatn umat manusia. Karena politik adalah sebuah siasat maka ketajaman dalam melihat keadaan menjadi syarat yang mutlak.

Menjaga Hak-hak Dasar Rakyat

Hari ini kita hidup di jaman yang berbeda dengan jaman Rasulullah, tapi secara substansi sama. Bangsa ini, Indonesia, masih perlu melakukan langkah-langkah yang strategis agar bisa lepas dari jerat kekuasaan asing, baik dari sisi ekonomi, politik, maupun budaya. Ketika kebijakan di bidang ekonomi dibuat, kita harus punya orientasi strategis bagi kepentingan ummat, baik dalam jangka pendek lebih-lebih dalam jangka panjangnya. Karena perwujudan politik adalah dalam bentuk kebijakan public (public policy), maka misi keummatan sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah di atas harus kita teladani.

Dalam teori politik-kenegaraan, kepala Negara atau pemerintahan, di level apapun, sebagai pemegang mandat kekuasaan dari rakyat memiliki kewajiban untuk mengambil kebijakan yang menyangkut kehidupan public berdasarkan pertimgbangan kemaslahatan bagi umat. Maka secara prinsip kebijakan pemerintah sebagai naungan hidup secara kolektif, kemasyarakatan, harus diorientasikan untuk memenuhi hak-hak dasar kemanusiaan.

Hak-hak dasar rakyat yang harus dijamin dan dipenuhi oleh kebijakan pemerintah adalah: (1) kebebasan beragama atau mempertahankan keyakinan (hifz ad-din), sebagaimana dijamin dalam UUD 45; (2) keselamatan jiwa atau fisik dari tindakan di luar ketentuan hukum (hifz an-nafs); (3) keselamatan atau kelangsungan hidup keturunan atau keluarga (hifz an-nasl); (4) keamanan harta benda atau hak milik pribadi (hifz al-mal); dan (5) kebebasan berpendapat dan berekspresi (hifz al-'aql).
Ketika hak-hak dasar ini dipenuhi dan dijamin oleh kebijakan dari pemerintah, niscaya usaha untuk membangun kehidupan kolektif demi terwujunya kesejahteraan, keadilan, kemakmuran dan kehidupan yang beradab sebagai tujuan berpolitik di negeri ini akan benar-benar terjadi. Praktik politik seperti inilah yang disebut dengan praktik politik profetik.[jf]

1 komentar:

Anonim mengatakan...

SAlam bang jakfar...

wah antum sekarang tinggal dimana ni bang..

met sukses aj bang..

mampir blog q bang jakfar..

wasslmm..