Jumat, 28 Desember 2007

KEDAULATAN BANGSA DAN ANCAMAN NEO-KOLONIALISME

Oleh: Ja'far Shodiq

Setiap bulan Agustus, sebagimana biasanya semenjak 62 tahun terakhir di negeri ini terlihat hingar-bingar pesta kemerdekaan oleh masyarakat Indonesia dalam memperingati hari bersejarah, 17 Agustus, atas diproklamasikan kemerdekaan bangsa Republik Indonesia oleh Bung Karno-Bung Hatta. Hingar bingar pesta kemerdekaan ini sebagai rasa syukur atas kemerdekaan bangsa atas penjajahan yang konon menghimpit kedaulatan bagnsa selama tiga setengah abad (350 tahun).

Tapi di tengah mayoritas masyarakat yang merayakan pesta kemerdekaan tersebut tidak sedikit juga yang masih mempertenyakan, apakah kita, Indonesia sudah benar-benar merdeka? Apakah benar bahwa kita sudah lepas dari penjajahan? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena realitas kehidupan di negeri ini yang masih penuh dengan krisis, baik dari sisi politik, ekonomi, social-kebudayaan, dan sebagainya. Dan penulis termasuk dari tidak sedikitnya orang yang turut mempertanyakan kemerdekaan bangsa ini. Kenapa? Karena sejak 62 tahun terakhir walaupun kita sudah terlepas dari jajahan secara fisik justru penjajahan sekarang beralih pada penjajahan non-fisik, dalam arti penjajahan sistemik. Inilah yang biasa disebut dengan neo-kolonialisme.

Bahaya Transnasionalisme dibanding Kolonialisme

Ideologi transnasional sebenarnya tidak hanya ada dalam Islam, tapi dalam tradisi Kristen (Barat) yang disebut kolonialisme itu juga bagian dari ideologi transnasional, dalam pengertian sebagai ideologi import karena tidak sesuai dengan ideologi bangsa, Pancasila. Ketika ideologi transnasional Barat ini sudah menciptakan system kehidupan yang mengikis kedaulatan bangsa ini maka ideologi ini sangat layak untuk disebut dengan kolonialisme. Dan kolonialisme ini lebih berbahaya dari pada ideologi transnasional Islam sebagaiaman yang disebut oleh K.H Hasyim Muzadi (NU Online, 24-25 April 2007).
Beberapa komentator di website NU Online, menilai bahwa K.H Hasyim Muzadi kurang proporsional dalam mengidentifikasi bahaya ideologi transnasional. Penilaian ini cukup beralasan karena penulis menangkap, secara paradigmatik Kiai Hasyim lebih menitik-beratkan bahwa yang dimaksud gerakan berbasis ideologi transnasioanal adalah beberapa kelompok gerakan Islam. Kiai Hasyim menyebutkan "…kemunculan gerakan Islam ideologis di Timur Tengah, seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tharir, Majelis Mujahidin, Al-Qaeda, dan sebagainya adalah reaksi dari liberalisme berbalut penjajahan ini. Di Indonesia, zaman prakemerdekaan ditandai dengan munculnya organisasi nasionalisme seperti Budi Utomo, Serikat Dagang Islam, Muhammadiyah, dan NU serta lainnya, juga dalam rangka memperkuat nasionalisme kebangsaan mengusir penjajah waktu itu".
Menurut pandangan penulis, kolonialisme Barat juga merupakan gerakan transnasional yang melakukan jejaraning di lintas Negara dengan wajah dan cara yang berbeda. Sehingga yang perlu diwaspadai bukan hanya kelompok-kelompok Islam transnasional tapi kolonialisme Barat yang sampai hari ini masih sangat massif menggempur sendi-sendi kehidupan kita dengan cara yang berbeda dibanding pada zaman pra-kemerdekaan tempoe doeloe.
Bahkan sosiolog Barat sendiri, dalam hal ini Marks Jurgen Mayor, mengatakan bahwa 'Demokrasi itu adalah Kristen dan hakekat dari Kristen adalah demokrasi, jadi sistem demokrasi dan sistem Negara republik adalah esensi dari pemikiran Kristen. Dan sumbangan terbesar dari peradaban Barat adalah mempopulerkan konsep Negara demokrasi'. Tesis ini setidaknya menjadi argumentasi yang objektif dalam melakukan penilaian atas ideologi dominan dunia yang hari ini masih dalam kendali Barat (western).

Sekarang yang menjadi persoalan adalah munculnya dua peradaban (pinjam istilah Huntington) yang mewujud dalam gerakan transnasional, yang satu transnasional Islam dan yang kedua transnasional Kristen (Barat). Dan seolah-olah dua peradaban tersebut berbenturan (atau dibenturkan??) sehingga persis dengan prediksi Samuel Huntington pada akhir abad ke-20 dengan tesisnya 'clash of civilization'. Kenapa dua peradaban tersebut berbenturan? Menurut Huntington karena Barat sejak sekitar tahun 1982 sudah mulai kehilangan legitimasi kekuasaan dengan melemahnya kekuatan ekonomi Barat dan kekuatan ekonomi mulai muncul di Asia, seperti Korea, Jepang, Taiwan, dan China. Hari ini kalau kita datang ke Negara-negara Barat, disana barang-barang yang dijual di toko dengan harga murah adalah barang-barang produksi Negara-negara Asia, terutama China dan Jepang. Kenyataan ini cukup menggelisahkan Negara Barat dalam sektor ekonomi.

Maka menurut penulis, dalam melakukan pembacaan terhadap situasi global kita tidak cukup hanya membaca tesisnya Huntington dengan cara membenturkan ideologi atau nilai, karena yang terjadi sesungguhnya adalah perbenturan kepentingan, baik dalam ranah politik maupun ekonomi. Dan sekali lagi, hari ini yang dihitung mempunyai ancaman kuat secara ekonomi bagi Negara-negara Barat adalah beberapa Negara Asia, terutama China, Jepang, dan Korea. Bahkan kekuatan China sudah ditunjukkan pada tahun 1998 dengan dibangunnya aliansi antara China dengan Rusia, Pakistan, Kirgistan dan Usbekistan yang disebut dengan Shanghai Group (Organisasi Kerjasama Shanghai).

Sehingga kita perlu melihat bahwa peta kekuatan besar dunia pasca perang dingin sekarang ini sudah mengalami perubahan. Kalau sebelum perang dingin (1945-1990an) kekuatan besar dunia adalah dua blok, NATO (Amerika dengan sekutunya) dan Pakta Warsawa (Eropa), sekarang setelah perang dingin usai pada tahun 1991 yang ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin di Jerman, muncul satu kekuatan besar dunia dari Asia, yaitu Shanghai Group. Jadi sekarang ada tiga blok besar kekuatan dunia atau Tri Polar Dunia, yaitu Amerika dengan sekutu-sekutunya, Eropa dan Organisasi Kerjasama Shanghai (Shanghai Group). Maka bangsa ini, Indonesia tercinta, perlu secara cermat dan waspada membaca tiga kekuatan dunia ini karena kita adalah bagian dari penduduk dunia yang tidak mungkin bisa lepas dari pertarungan kekuatan besar yang sedang terjadi di dunia ini.

Mempertegas Identitas Bangsa

Dalam membaca kenyataan dunia kita tidak boleh terjebak pada nalar 'konspiratif' yang dimunculkan pada akhir abad ke-20-an oleh Huntington dengan 'class of civilization'-nya dan Fukuyama dengan 'the end of history'-nya. Karena kalau kita terjebak pada nalar ini, yang terjadi adalah kita selalu menganggap bahwa hari ini sedang terjadi perang ideologi, dan kita selalu ribut dengan yang namanya IDEOLOGI ini. Ideologi seolah menjadi hantu yang menakautkan, termasuk ideologi transnasioanal yang sedang banyak dibicarakan sekarang ini. Padahal Negara-negara yang sudah memahami persoalan sesungguhnya tidak pernah gelisah dengan yang namanya ideolgi, yang mereka lakukan adalah mengatur strategi dalam kerangka penguasaan ekonomi, politik, kebudayaan dan peradaban. Maka yang terjadi bukan perbenturan ideologi tapi perbenturan kepentingan, terutama kepentingan ekonomi.

Maka dalam kenyataan global yang seperti ini, bangsa Indonesia perlu mempertegas identitas diri (citra bangsa) yang jelas, tidak latah, genit dan kagetan dalam menghadapi perkembangan isu yang dibangun lewat media masa. Maksud penulis tentang perlunya bangsa ini mempertegas identitas yang jelas adalah Indonesia harus selalau tegas dalam menunjukkan dirinya sebagai bangsa yang berdaulat. Pertama, berdaulat secara ekonomi. Dalam bidang ekonomi kita tidak boleh mengekor pada kepentingan pemodal besar (kapitalis), tapi harus berbasis pada peningkatan kebutuhan dasar masyarakat. Tiga potensi kekayaan Indonesia, bumi, laut dan tambang harus dikuasai sepenuhnya oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3.

Kedua, berdaulat secara politik. Di bidang politik kita harus mempunyai sikap yang tegas berbasis pada keadilan. Segala kebijakan maupun tindakan politik baik itu dari kelompok-kelompok yang ada di tengah-tengah bangsa ini maupun dari kekuatan politik asing yang tidak bertujuan untuk menegakkan keadilan harus ditolak dengan tegas. Bukankah prinsip berpolitik adalah untuk mengakkan keadilan?? Menurut penulis, kolonialisme dalam bentuk apapun dan dimanapun harus ditolak dengan tegas karena kolonialisme sudah pasti orientasinya bukan keadilan tapi perampasan.

Ketiga, berdaulat secara budaya dan peradaban. Untuk membangun kemandirian di bidang kebudayaan dan peradaban maka sektor pendidikan menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Pendidikan harus diorientasikan pada pembentukan manusia Indonesia yang seutuhnya. Pendidikan tidak boleh dijadikan komoditas pasar (komersialisasi), pendidikan harus diorientasikan pada pengelolaan kekayaan bangsa yang sangat melimpah ini. Anak didik disiapkan untuk menjadi dirinya sendiri, didorong untuk selalu berkarya dari potensi yang secara fitrah ada dalam dirinya dan ada di sekelilingnya. Pendidikan bukan penyiapan tenaga kerja untuk industri-industri milik pemodal asing yang menjamur di negeri ini, tapi pendidikan harus disiapkan untuk memunculkan pekerja-pekerja mandiri di bangsanya sendiri yang sekali lagi sangat kaya dengan sumber daya alamnya ini. Ketika out-put pendidikan sudah menciptakan manusia-manusia yang mandiri, maka bangsa ini akan berdaulat secara budaya dan peradaban.

Dengan memperjelas identitas jati diri sebagai bangsa yang berdaulat dalam tiga ranah, ekonomi, politik dan sosial-kebudayaan di atas, maka bangsa ini tidak akan latah, genit, dan kagetan terhadap budaya-budaya baru yang muncul dari luar dirinya dan dari luar lingkungan atau komunitasnya, tidak mudah tergiur oleh kenikmatan-kenikmatan sesaat (pragmatis) yang hari ini setiap detik dalam bidang apapun dan dimanapun sudah disediakan oleh pemodal-pemodal besar melalui liberalisasi ekonominya (neoliberalisme).
Dalam pandangan penulis, neoliberalime ini adalah transnasional multi-wujud sebagai sebuah strategi bukan ideologi, sekaligus merupakan kolonialisasi atau lebih tepatnya sering diistilahkan neo-kolonialisme (penjajahan baru). Dalam keyakinan penulis setiap kolonialisme adalah tidak adil dan berbahaya, maka ini yang perlu kita waspadai dengan selalu menjaga kedaulatan diri (bangsa) dan selalu awas dalam membaca gerak politik dunia secara menyeluruh (tidak parsial). Karena kesalahan diagnosa oleh seorang dokter pada penyakit pasiennya justru akan mengancam jiwa pasien itu sendiri, bukan??.[jf]

Tidak ada komentar: