Jumat, 28 Desember 2007

Islam, Agama Berwatak Kemanusiaan

Oleh: Ja'far Shodiq

Ketika bangsa ini sedang terhimpit oleh krisis ekonomi, terbelit hutang, elite politik selalu berkonflik, dada kita disesakkan lagi dengan adanya kekerasan yang selalu saja terjadi sejak memasuki abad 21 ini. Bagaimana dada kita tidak sesak, kekerasan yang terjadi selalu mengatasnamakan agama, untuk membasmi kemaksiatan, untuk jihad membela Tuhan, dst. Apakah mereka tidak sadar bahwa tidak ada satu kalimatpun dalam agama, terutama Islam, yang mengajarkan atau memerintahkan untuk bertindak dengan kekerasan dalam menyelesaikan suatu masalah??
Mereka tidak sadar, bahwa seolah-olah mereka akan membasmi kemaksiatan tapi sebenarnya yang mereka lakukan itu juga merupakan kemaksiatan, kenapa kemaksiatan? Karena segala kekerasan yang merugikan pihak lain adalah bentuk kemaksiatan yang ditentang oleh Islam, dan penulis yakin semua agama juga menentang kekerasan dalam bentuk apapun.

Seharusnya di tengah himpitan krisis multi-dimensi ini, umat beragama termasuk umat Islam segera menghentikan perilaku sektarianismenya menuju pada upaya pencarian solusi atas problem krisis ekonomi dan politik bangsa. Dalam Islam, Rasulullah sudah menegaskan bahwa perbedaan adalah rahmat (Al Ikhtilafu hua Rhmah), jadi kalau kita melakukan kekerasan se-keras apapun untuk menyamakan sesuatu yang berbeda maka sama halnya dengan kita melakukan penebaran virus kebencian dan menghilangkan rahmat itu sendiri. Bukankah kita semua sudah tahu bahwa Allah tidak akan mengutus Muhammad kecuali untuk memberikan rahmat bagi semesta alam??
Untuk ikut berupaya meningkatkan kehiduapan yang berdaulat di negeri ini, maka Islam bisa dijadikan sebagai etos. Islam adalah agama untuk kepentingan kemanusiaan bukan untuk kepentingan Tuhan.
Islam Sebagai Kritik
Islam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah untuk kepentingan kemanusiaan harusnya bersikap dan dijadikan semangat kritik oleh umatnya ketika jutaan rakyat menjerit oleh pemiskinan yang terus berlangsung akibat kenaikan BBM, penggusuran dan PHK? Di manakah teriakan jihad Allahu Akbar!! ketika bangsa ini diambang kebangkrutan saat BUMN digadaikan kepada pihak asing? Apa yang umat Islam lakukan ketika bangsa ini digerogoti oleh korupsi sementara hutang terus bertambah dan akan dibayar oleh sepuluh generasi kita mendatang? Kemana pendekar-pendekar berjubah itu ketika ribuan saudara-saudara kita diusir dari Malaysia? Mereka dipenjarakan, dicambuk, diperkosa, diinjak-injak harga dirinya dan dihina martabatnya sebagai manusia, dimanakah peran dari agama keselamatan (Islam) itu??.
Fenomena di atas semakin menunjukkan bahwa sejatinya manusia semakin tecerabut dari kemerdekaannya, dalam arti pola pikir dan perilakunya secara tidak sadar telah dibentuk oleh sturktur ideologi besar kapitalisme, sehingga mayoritas manusia (termasuk umat Islam) lebih mengorientasikan hidupnya pada kebutuhan materiil semata dengan nalar ego-sentris, merasa paling benar sendiri, pragmatis, konsumtif, hedonis, modis, dst. Sehingga lalai terhadap tugas utamanya sebagai manusia untuk menebar rahmat dan keselamatan di jagad raya ini.
Islam sebagai agama yang diturunkan bagi keselamatan hidup umat manusia harus mampu diperankan oleh umat atau pemeluknya untuk melakukan perubahan secara fundamental terhadap struktur atau sistem yang sudah sedemikian menjauh dari keberpihakan terhadap kepentingan kemanusiaan. Artinya Islam harus dijadikan sebagai semangat kritik terhadap realitas kehidupan yang semakin tidak manusiawi, yang di era pasar bebas ini segala sesuatunya dikendalikan oleh pasar atau lebih tepatnya pemilik modal (kapital). Sementara pemerintah juga tidak mempunyai kemampuan untuk melawannya bahkan yang terjadi adalah meng-amininya, untuk mengganti istilah ekstrim menjadi JONGOS pemodal internsional. Hal ini terbukti dengan kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah yang selalu didasarkan atas kebutuhan pasar bukan kebutuhan rakyat atau kaum lemah.
Maka Islam sebagai kritik atas kehidupan yang semakin mengalienasikan nilai-nilai kemanusiaan di sini, lebih dititik tekankan pada kesadaran penuh bahwa dalam Islam, manusia diposisikan sebagai pemimpin di muka bumi (khalifatullah fi al ardli) yang meniscayakan peran perubahan, sebagai mandat atas penciptaannya untuk selalu konsisten (istiqomah) melakukan perjuangan demi kepentingan kemanusiaan di tengah tatanan sosial kehidupan masyarakat yang semakin jauh dari prinsip-prinsip Islam yang mencakup segala aspek kehidupan (kaffah), yang berdiri di atas prinsip keseimbangan (tawazun), jalan tengah (tawasuth), kesamaan dalam hak (sawa'), toleran dalam sosial kemasyarakatan (tasamuh), mengedepankan prinsip keadilan dalam berpolitik (ta'adl), dan kemerdekaan dalam menjalani hidup (al hurriyah), serta beperan dalam menciptakan perdamaian (al islah).
Perubahan yang harus diupayakan oleh Islam tidak hanya untuk menjawab pertanyaan konteks sosial dalam situasi yang sedang berlangsung, tetapi lebih jauh adalah untuk melakukan transformasi kebudayaan (membudayakan) prinsip-prinsip dan nilai-nilai ajaran ke-Islaman yang berorientasi pada kepentingan kemanusiaan demi tegaknya keadilan, pencerdasan umat, dan penghormatan atas perbedaan (pluralitas).
Pada hakikatnya, Islam sebagai agama yang dirisalahkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW adalah untuk menwajab segala persoalan yang akan terjadi di muka bumi, pada saat itu, saat ini, dan pada masa yang akan datang, tak terbatas, hingga usia bumi atau alam semesta ini berakhir (al-Islam yasluhu li kulli makanin wa zamanin).
Hal senada diungkapkan oleh M. Iqbal sebagai kritik atas umat Islam, bahwa Islam adalah agama yang lebih mengutamakan karya (proses) dan bukan cita-cita (tujuan). Tak bisa disangkal, realita selalu berubah dan berkembang, tapi konsep kita tidak pernah berkembang. Perjuangan kita menjadi semacam perjuangan emosional, sloganistis dan simbolik. (Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib, 1998)
Maka meminjam bahasa MN Harisuddin (dalam Islam Terapan), “Islam adalah agama moral” sehingga Islam tidak saja menerapkan ajaran ritualistik atau normatifnya, tetapi juga menuju upaya praksis yang membawa umat pada tuntunan yang lebih baik.
Maka Islam harus dimaknai sebagai semangat pembeasan untuk ‘memanusiakan’ kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang menindas, membodohi, memiskinkan dan tidak adil. Hal ini harus diyakini sebagai perintah Allah atas manusia sebagai makhluk-Nya, yang mempunyai tugas ke-khalifahan untuk melakukan pembebasan terhadap kejahiliyahan system dan struktur kekuasaan yang menindas. Hal serupa juga-lah yang telah dicontohkan oleh Nabi besar Muhammad SAW ketika melakukan gerakan revolusioner merubah kehidupan jahiliyah (kebodohan, kerusakan, dan penindasan) menjadi kehidupan Islamiyah (keselamatan & kesejahteraan).
Evaluasi atas Perilaku ke-Islaman
Bagi penulis, Islam dengan pelbagai jenis ritualnya perlu untuk dievaluasi kembali (bukan dihilangkan), karena yang dapat dilihat hingga hari ini, ritualitas dalam ajaran Islam tidak nampak menghadirkan ketaatan yang disertai perilaku utuh dalam hal kebajikan, dengan melakukan perlawanan terhadap adanya ketidakadilan, penindasan, pemiskinan, pembodohan, dan segala macam persoalan sosial yang secara sistemik telah merenggut manusia dari hakikat kemanusiaannya yang merdeka. Sehingga banyak pengamat sosial yang mengatakan di tengah-tengah kehidupan umat manusia ini telah terjadi dehumanisasi.
Sebagai contoh, ibadah ritual sholat seharusnya tidak hanya meningkatkan kesalehan secara individu saja, tapi mereka menjadi terketuk hatinya untuk menjalankan separuh hidupnya untuk kemakrufan (memperjuangkan peningkatan kehidupan yang lebih baik). Pada bulan ini umat Islam juga sedang menunaikan ritual agung berupa Puasa Ramadhan, seharusnya dari puasa yang intinya adalah untuk mengendalikan diri dari berlebih-lebihan dalam memenuhi kebutuhan nafsu duniawinya. Dan di bulan Ramadhan ini sebetulnya merupakan momentum bagi umat Islam untuk dapat merenungkan lapar dan kesederhanaan dari puasa sehingga timbul semangat untuk senantiasa berbagi kepada yang masih hidup dalam kekurangan dan ketertinggalan (kaum mustad'afin).
Maka kemasan Islam yang selama ini oleh para “elitenya” dalam setiap dakwah hanya dijadikan sebagai ajaran tentang ritual-normatif sehingga acap kali abai dengan persoalan psikhis pemeluknya, karena kebanyakan sang 'juru dakwah' sering tidak tepat memberi obat yang mujarab untuk mengobati penyakit umatnya dikarenakan kurang memahami persoalan yang sesungguhnya terjadi.
Demikianlah kenyataannya, karena Islam lebih diajarkan untuk aspek-aspek yang sifatnya lahiriah, bukan batiniah pemeluknya. Hal inilah yang berakibat pada doktrinasi dalam Islam yang cenderung kaku dan rigid serta hanya mengedepankan legal-formalnya belaka. Dalam bentuk ini, doktrin Islam justru tidak menyentuh akar subtansi, yang seharusnya lebih mengedepankan ajarannya untuk memberikan kemaslahatan umum (al-maslahat al-ammah). Hal inilah yang menjadi inspirasi utama dari penulis bahwa perlu dikampanyekan secara massif tentang hakikat Islam dirisalahkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah untuk kepentingan kemanusiaan bukan kepentingan Tuhan.
Maka agar tidak larut dalam pola keIslaman yang normatif-ritualistik dan tidak memberi solusi bagi persoalan yang dihadapi umat, setidaknya untuk kalangan yang peduli dan mempunyai basis keilmuan tentang Islam diperlukan kajian secara utuh dengan tiga pendekatan.
Pertama, menganalisis secara tajam dan utuh (komprehensif) terhadap kenyataan yang sesungguhnya terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa, negara, atau bahkan dunia. Karena bukan suatu hal yang mustahil persoalan kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, dan seterusnya yang menghimpit kehidupan masyarakat kita ini adalah akibat dari sistem (seperangkat aturan) yang tidak benar atau kurang benar.
Kedua, Mengkaji secara utuh teks keagamaan (Islam) dengan memposisikan fakta sebagai basis analisis bukan teks yang dijadikan basis analisisnya. Artinya kontekstualisasi kajian teks adalah sebuah keniscayaan untuk melakukan kajian Islam Kritis yang beroriantasi pada pemerdekaan dan pembebasan atas umat manusia dari ketidakadilan, pembodohan, dan penindasan.
Ketiga, secara personal akan lebih baik kalau dalam mewujudkan ke-Islamannya, umat Islam mebiasakan diri dengan mengintegrasikan antara dzikir, fikir, dan amal shaleh. Dzikir adalah kebutuhan manusia dalam dimensi spiritual, yang merupakan bentuk penghambaan diri sebagai makhluk yang diciptakan untuk menyembah ('abdullah). Fikir adalah kebutuhan manusia dari dimensi intelektualitas atau akal, hal ini merupakan perwujudan manusia sebagai makhluk yang diciptakan paling sempurna (laqad khalaqna al insana fi ahsani taqwim) dengan anugerah akal, cipta, rasa, dan karsa dari Allah SWT. Sedangkan Amal Shaleh adalah perwujudan peran manusia dalam dimensi sosial untuk memerankan diri sebagai khalifatullah fi al ardli, yang mempunyai kewajiban untuk menjaga keharmonisan hidup di muka bumi ini.
Dengan tiga pendekatan ini diharapkan akan benar-benar terwujud hakikat Islam sebagai agama yang dirisalahkan untuk memberikan rahmat dan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Amin… [jf]

Tidak ada komentar: