Sabtu, 29 Desember 2007

Mempraktikkan Politik Profetik

Oleh: Ja'far Shodiq

Politik profetik adalah perjuangan di ranah social kemasyarakatan, sekaligus kenegaraan dan kebangsaan untuk mewujudkan kesejahteraan, keadilan, kemakmuran dan kehidupan yang beradab sebagaiman telah dicontohkan oleh para Nabi, terutama Nabi Muhammad SAW.

Politik profetik ini dijalankan atas kesadaran diri, bahwa fitrah penciptaan manusia oleh Allah SWT adalah untuk mengabdi kepada-Nya [Q.S.Al-Dzariyat:56], sekaligus untuk mewakili-Nya menata kehidupan yang membawa rahmat bagi seluruh penghuni alam. Inilah manivestasi kekhalifahan manusia sebagaimana telah difirmankan oleh Allah SWT [Q.S.Al-Baqarah:30]. Peran penghambaan beserta kekhalifahan ini tidak mungkin dilakukan oleh makhluk Allah SAW selain manusia.

Kenapa gagasan tentang politik profetik ini perlu penulis tulis? Pertama, karena semenjak 62 tahun yang lalu, ketika bangsa ini menyatakan kemerdekaannya menjadi bangsa Indonesia Merdeka, tujuan secara substansial dari kemerdekaan itu sendiri belum terwujud. Secara sederhana kita dapat memahami tujuan dasar kemerdekaan Indonesia adalah terumus dalam Pancasila dan UUD 1945. Keadilan, kesejahteraan, kemakmuran dan kehidupan yang beradab belum terwujud, bahkan sampai pada era pasca-reformasi saat ini juga belum begitu terasa kemajuannya, terutama menyangkut kedaulatan Negara dan bangsa, baik dari sisi politik, ekonomi, serta budayanya.

Kedua, realitas politik dari hari ke hari semakin dipenuhi dengan konflik elite, baik itu elite partai, kelompok, maupun elite pemerintahan. Seolah politik sudah mengalami dis-orientasi, yang seharusnya mengayomi umat tapi berbalik menjadi mengakali umat, yang seharusnya memperjuangkan hak-hak rakyat berubah menjadi menindas hak-hak rakyat, yang seharusnya mempelopori perdamaian dan persaudaraan kemanusiaan tapi malah memprovokasi pertikaian dan permusuhan terhadap sesama. Realitas ini cukup paradoks bagi bangsa yang mayoritas masyarakatnya sangat religius ini.

Maka bagi penulis, kita perlu kembali pada semangat kenabian (profetik) terutama dalam menjalankan praktik politik-nya. Ketika semangat ini menjadi dasar atau niat awal, maka insya-Allah akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini.

Strategi Politik Rasulullah

Politik dalam Islam disebut dengan istilah Siyasyah (Indonesia: siasat), tapi siasat di sini adalah dalam makna positif. Siasat dijalankan adalah dalam kerangka memenuhi kemaslahatan, bukan kemadlaratan. Ini sesuai dengan kaidah fiqih "tasharruf al-imam 'ala al-ra'iyyah manut bil maslahah" (kebijakan penguasa politik yang diberlakukan untuk warga Negara harus berorientasi pada kemaslahatan atau kesejahteraan umat).

Abdul Wahhab Khallaf memberikan tiga kriteria tentang kesejahteraan ummat (al-maslahah al-'ammah), yaitu: (1) kemaslahatn itu bersifat esensial, yaitu kepentingan yang secara praksis-operasional mampu mewujudkan kesejahteraan umum dan mencegah timbulnya kerusakan; (2) maslahah itu ditujukan untuk kepentingan rakyat banyak, bukan semata-mata individu; dan (3) maslahah itu tidak bertentangan dengan ketentuan atau dalil-dalil umum atau nash. (Partai Advokasi, DPP PKB & KLiK_R, 2004).

Nabi Muhammad SAW juga telah mempraktikkan politik dalam arti strategi atau siyasyah sebagaimana tercatat dalam sejarah perjanjian hudaibiyah yang merupakan momentum awal kemenangan syi'ar Islam sebagai misi keselamatan universal yang dibawa oleh beliau.

Dalam perjanjian hudaibiyah yang diikrarkan oleh Rasulullah dari pihak Muslim dan Suhail bin Amer dari pihak Kafir Qurays, dengan Ali bin Abi Thalib sebagai penulisnya yang berisi empat kesepakatan, yaitu: (1) menghentikan perang selama 10 tahun, dimana keamanan semua manusia terjamin di dalamnya, sebagian dari mereka harus menahan diri dari sebagian yang lainnya; (2) siapa saja dari pengikut Muhammad dari Mekah yang datang –berhijrah- kepadanya tanpa izin dari walinya, maka Muhammad wajib mengembalika sahabat tersebut. Tapi apabila pengikut Muhammad di Madinah ada yang dating ke Mekah (Qurays), kaum qurays tidak wajib mengembalikan kepada Muhammad; (3) sesungguhnya diantara kita terdapat perdamaian yang menahan terjadinya perang, tidak boleh mencuri dan tidak boleh berkhianat; (4) Dan seseungguhnya engkau (Muhammad) harus kembali ke Madinah pada tahun ini, engkau tidak boleh masuk bersama kami di Mekah. Pada tahun depan, kami akan keluar dari Mekah, dan engkau boleh masuk Mekah bersama sahabat-sahabatmu dan menetap selama tiga hari saja. (lihat Tafsir Ibnu Katsir juz IV hlm.196)

Dari teks perjajian hudaibiyah di atas, secara sepintas terlihat merugikan kaum muslimin dan Nabi Muhammad. Para sahabat, terutama Umar bin Khottob juga melakukan protes kepada Rasulullah, terutama terhadap perjajian butir ke-2 dan ke-4 yang dalam hitungan para sahabat dan Umar adalah merugikan kaum muslimin. Tapi Rasulullah mempunyai strategi lain, yaitu dengan perjanjian ini kaum muslim yang sebelumnya tidak pernah diakui oleh kaum kafir Qurays tanpa mereka sadari telah diakui eksistensintya. Selain itu dengan perjanjian butir ke-1 dan ke-3 kaum muslimin bisa melakukan syi'ar Islam dengan leluasa, tidak seperti biasanya yang selalu terjadi perang. Berawal dari strategi politik inilah misi Rasulullah untuk menyebarkan Islam sebagai agama penyelamat bagi umat manusia mengalami keberhasilan yang luar biasa.

Pelajaran yang dapat kita petik adalah, dalam menjalankan misi politiknya Rasulullah selalu mempunyai orientasi jangka pendek dan jangka panjang dengan menghitung potensi kemaslahatan dan kemadlaratannya. Ukuran mendasarnya adalah terwujudnya kemasalahatn umat manusia. Karena politik adalah sebuah siasat maka ketajaman dalam melihat keadaan menjadi syarat yang mutlak.

Menjaga Hak-hak Dasar Rakyat

Hari ini kita hidup di jaman yang berbeda dengan jaman Rasulullah, tapi secara substansi sama. Bangsa ini, Indonesia, masih perlu melakukan langkah-langkah yang strategis agar bisa lepas dari jerat kekuasaan asing, baik dari sisi ekonomi, politik, maupun budaya. Ketika kebijakan di bidang ekonomi dibuat, kita harus punya orientasi strategis bagi kepentingan ummat, baik dalam jangka pendek lebih-lebih dalam jangka panjangnya. Karena perwujudan politik adalah dalam bentuk kebijakan public (public policy), maka misi keummatan sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah di atas harus kita teladani.

Dalam teori politik-kenegaraan, kepala Negara atau pemerintahan, di level apapun, sebagai pemegang mandat kekuasaan dari rakyat memiliki kewajiban untuk mengambil kebijakan yang menyangkut kehidupan public berdasarkan pertimgbangan kemaslahatan bagi umat. Maka secara prinsip kebijakan pemerintah sebagai naungan hidup secara kolektif, kemasyarakatan, harus diorientasikan untuk memenuhi hak-hak dasar kemanusiaan.

Hak-hak dasar rakyat yang harus dijamin dan dipenuhi oleh kebijakan pemerintah adalah: (1) kebebasan beragama atau mempertahankan keyakinan (hifz ad-din), sebagaimana dijamin dalam UUD 45; (2) keselamatan jiwa atau fisik dari tindakan di luar ketentuan hukum (hifz an-nafs); (3) keselamatan atau kelangsungan hidup keturunan atau keluarga (hifz an-nasl); (4) keamanan harta benda atau hak milik pribadi (hifz al-mal); dan (5) kebebasan berpendapat dan berekspresi (hifz al-'aql).
Ketika hak-hak dasar ini dipenuhi dan dijamin oleh kebijakan dari pemerintah, niscaya usaha untuk membangun kehidupan kolektif demi terwujunya kesejahteraan, keadilan, kemakmuran dan kehidupan yang beradab sebagai tujuan berpolitik di negeri ini akan benar-benar terjadi. Praktik politik seperti inilah yang disebut dengan praktik politik profetik.[jf]

Read more...

Jumat, 28 Desember 2007

KEDAULATAN BANGSA DAN ANCAMAN NEO-KOLONIALISME

Oleh: Ja'far Shodiq

Setiap bulan Agustus, sebagimana biasanya semenjak 62 tahun terakhir di negeri ini terlihat hingar-bingar pesta kemerdekaan oleh masyarakat Indonesia dalam memperingati hari bersejarah, 17 Agustus, atas diproklamasikan kemerdekaan bangsa Republik Indonesia oleh Bung Karno-Bung Hatta. Hingar bingar pesta kemerdekaan ini sebagai rasa syukur atas kemerdekaan bangsa atas penjajahan yang konon menghimpit kedaulatan bagnsa selama tiga setengah abad (350 tahun).

Tapi di tengah mayoritas masyarakat yang merayakan pesta kemerdekaan tersebut tidak sedikit juga yang masih mempertenyakan, apakah kita, Indonesia sudah benar-benar merdeka? Apakah benar bahwa kita sudah lepas dari penjajahan? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena realitas kehidupan di negeri ini yang masih penuh dengan krisis, baik dari sisi politik, ekonomi, social-kebudayaan, dan sebagainya. Dan penulis termasuk dari tidak sedikitnya orang yang turut mempertanyakan kemerdekaan bangsa ini. Kenapa? Karena sejak 62 tahun terakhir walaupun kita sudah terlepas dari jajahan secara fisik justru penjajahan sekarang beralih pada penjajahan non-fisik, dalam arti penjajahan sistemik. Inilah yang biasa disebut dengan neo-kolonialisme.

Bahaya Transnasionalisme dibanding Kolonialisme

Ideologi transnasional sebenarnya tidak hanya ada dalam Islam, tapi dalam tradisi Kristen (Barat) yang disebut kolonialisme itu juga bagian dari ideologi transnasional, dalam pengertian sebagai ideologi import karena tidak sesuai dengan ideologi bangsa, Pancasila. Ketika ideologi transnasional Barat ini sudah menciptakan system kehidupan yang mengikis kedaulatan bangsa ini maka ideologi ini sangat layak untuk disebut dengan kolonialisme. Dan kolonialisme ini lebih berbahaya dari pada ideologi transnasional Islam sebagaiaman yang disebut oleh K.H Hasyim Muzadi (NU Online, 24-25 April 2007).
Beberapa komentator di website NU Online, menilai bahwa K.H Hasyim Muzadi kurang proporsional dalam mengidentifikasi bahaya ideologi transnasional. Penilaian ini cukup beralasan karena penulis menangkap, secara paradigmatik Kiai Hasyim lebih menitik-beratkan bahwa yang dimaksud gerakan berbasis ideologi transnasioanal adalah beberapa kelompok gerakan Islam. Kiai Hasyim menyebutkan "…kemunculan gerakan Islam ideologis di Timur Tengah, seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tharir, Majelis Mujahidin, Al-Qaeda, dan sebagainya adalah reaksi dari liberalisme berbalut penjajahan ini. Di Indonesia, zaman prakemerdekaan ditandai dengan munculnya organisasi nasionalisme seperti Budi Utomo, Serikat Dagang Islam, Muhammadiyah, dan NU serta lainnya, juga dalam rangka memperkuat nasionalisme kebangsaan mengusir penjajah waktu itu".
Menurut pandangan penulis, kolonialisme Barat juga merupakan gerakan transnasional yang melakukan jejaraning di lintas Negara dengan wajah dan cara yang berbeda. Sehingga yang perlu diwaspadai bukan hanya kelompok-kelompok Islam transnasional tapi kolonialisme Barat yang sampai hari ini masih sangat massif menggempur sendi-sendi kehidupan kita dengan cara yang berbeda dibanding pada zaman pra-kemerdekaan tempoe doeloe.
Bahkan sosiolog Barat sendiri, dalam hal ini Marks Jurgen Mayor, mengatakan bahwa 'Demokrasi itu adalah Kristen dan hakekat dari Kristen adalah demokrasi, jadi sistem demokrasi dan sistem Negara republik adalah esensi dari pemikiran Kristen. Dan sumbangan terbesar dari peradaban Barat adalah mempopulerkan konsep Negara demokrasi'. Tesis ini setidaknya menjadi argumentasi yang objektif dalam melakukan penilaian atas ideologi dominan dunia yang hari ini masih dalam kendali Barat (western).

Sekarang yang menjadi persoalan adalah munculnya dua peradaban (pinjam istilah Huntington) yang mewujud dalam gerakan transnasional, yang satu transnasional Islam dan yang kedua transnasional Kristen (Barat). Dan seolah-olah dua peradaban tersebut berbenturan (atau dibenturkan??) sehingga persis dengan prediksi Samuel Huntington pada akhir abad ke-20 dengan tesisnya 'clash of civilization'. Kenapa dua peradaban tersebut berbenturan? Menurut Huntington karena Barat sejak sekitar tahun 1982 sudah mulai kehilangan legitimasi kekuasaan dengan melemahnya kekuatan ekonomi Barat dan kekuatan ekonomi mulai muncul di Asia, seperti Korea, Jepang, Taiwan, dan China. Hari ini kalau kita datang ke Negara-negara Barat, disana barang-barang yang dijual di toko dengan harga murah adalah barang-barang produksi Negara-negara Asia, terutama China dan Jepang. Kenyataan ini cukup menggelisahkan Negara Barat dalam sektor ekonomi.

Maka menurut penulis, dalam melakukan pembacaan terhadap situasi global kita tidak cukup hanya membaca tesisnya Huntington dengan cara membenturkan ideologi atau nilai, karena yang terjadi sesungguhnya adalah perbenturan kepentingan, baik dalam ranah politik maupun ekonomi. Dan sekali lagi, hari ini yang dihitung mempunyai ancaman kuat secara ekonomi bagi Negara-negara Barat adalah beberapa Negara Asia, terutama China, Jepang, dan Korea. Bahkan kekuatan China sudah ditunjukkan pada tahun 1998 dengan dibangunnya aliansi antara China dengan Rusia, Pakistan, Kirgistan dan Usbekistan yang disebut dengan Shanghai Group (Organisasi Kerjasama Shanghai).

Sehingga kita perlu melihat bahwa peta kekuatan besar dunia pasca perang dingin sekarang ini sudah mengalami perubahan. Kalau sebelum perang dingin (1945-1990an) kekuatan besar dunia adalah dua blok, NATO (Amerika dengan sekutunya) dan Pakta Warsawa (Eropa), sekarang setelah perang dingin usai pada tahun 1991 yang ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin di Jerman, muncul satu kekuatan besar dunia dari Asia, yaitu Shanghai Group. Jadi sekarang ada tiga blok besar kekuatan dunia atau Tri Polar Dunia, yaitu Amerika dengan sekutu-sekutunya, Eropa dan Organisasi Kerjasama Shanghai (Shanghai Group). Maka bangsa ini, Indonesia tercinta, perlu secara cermat dan waspada membaca tiga kekuatan dunia ini karena kita adalah bagian dari penduduk dunia yang tidak mungkin bisa lepas dari pertarungan kekuatan besar yang sedang terjadi di dunia ini.

Mempertegas Identitas Bangsa

Dalam membaca kenyataan dunia kita tidak boleh terjebak pada nalar 'konspiratif' yang dimunculkan pada akhir abad ke-20-an oleh Huntington dengan 'class of civilization'-nya dan Fukuyama dengan 'the end of history'-nya. Karena kalau kita terjebak pada nalar ini, yang terjadi adalah kita selalu menganggap bahwa hari ini sedang terjadi perang ideologi, dan kita selalu ribut dengan yang namanya IDEOLOGI ini. Ideologi seolah menjadi hantu yang menakautkan, termasuk ideologi transnasioanal yang sedang banyak dibicarakan sekarang ini. Padahal Negara-negara yang sudah memahami persoalan sesungguhnya tidak pernah gelisah dengan yang namanya ideolgi, yang mereka lakukan adalah mengatur strategi dalam kerangka penguasaan ekonomi, politik, kebudayaan dan peradaban. Maka yang terjadi bukan perbenturan ideologi tapi perbenturan kepentingan, terutama kepentingan ekonomi.

Maka dalam kenyataan global yang seperti ini, bangsa Indonesia perlu mempertegas identitas diri (citra bangsa) yang jelas, tidak latah, genit dan kagetan dalam menghadapi perkembangan isu yang dibangun lewat media masa. Maksud penulis tentang perlunya bangsa ini mempertegas identitas yang jelas adalah Indonesia harus selalau tegas dalam menunjukkan dirinya sebagai bangsa yang berdaulat. Pertama, berdaulat secara ekonomi. Dalam bidang ekonomi kita tidak boleh mengekor pada kepentingan pemodal besar (kapitalis), tapi harus berbasis pada peningkatan kebutuhan dasar masyarakat. Tiga potensi kekayaan Indonesia, bumi, laut dan tambang harus dikuasai sepenuhnya oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3.

Kedua, berdaulat secara politik. Di bidang politik kita harus mempunyai sikap yang tegas berbasis pada keadilan. Segala kebijakan maupun tindakan politik baik itu dari kelompok-kelompok yang ada di tengah-tengah bangsa ini maupun dari kekuatan politik asing yang tidak bertujuan untuk menegakkan keadilan harus ditolak dengan tegas. Bukankah prinsip berpolitik adalah untuk mengakkan keadilan?? Menurut penulis, kolonialisme dalam bentuk apapun dan dimanapun harus ditolak dengan tegas karena kolonialisme sudah pasti orientasinya bukan keadilan tapi perampasan.

Ketiga, berdaulat secara budaya dan peradaban. Untuk membangun kemandirian di bidang kebudayaan dan peradaban maka sektor pendidikan menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Pendidikan harus diorientasikan pada pembentukan manusia Indonesia yang seutuhnya. Pendidikan tidak boleh dijadikan komoditas pasar (komersialisasi), pendidikan harus diorientasikan pada pengelolaan kekayaan bangsa yang sangat melimpah ini. Anak didik disiapkan untuk menjadi dirinya sendiri, didorong untuk selalu berkarya dari potensi yang secara fitrah ada dalam dirinya dan ada di sekelilingnya. Pendidikan bukan penyiapan tenaga kerja untuk industri-industri milik pemodal asing yang menjamur di negeri ini, tapi pendidikan harus disiapkan untuk memunculkan pekerja-pekerja mandiri di bangsanya sendiri yang sekali lagi sangat kaya dengan sumber daya alamnya ini. Ketika out-put pendidikan sudah menciptakan manusia-manusia yang mandiri, maka bangsa ini akan berdaulat secara budaya dan peradaban.

Dengan memperjelas identitas jati diri sebagai bangsa yang berdaulat dalam tiga ranah, ekonomi, politik dan sosial-kebudayaan di atas, maka bangsa ini tidak akan latah, genit, dan kagetan terhadap budaya-budaya baru yang muncul dari luar dirinya dan dari luar lingkungan atau komunitasnya, tidak mudah tergiur oleh kenikmatan-kenikmatan sesaat (pragmatis) yang hari ini setiap detik dalam bidang apapun dan dimanapun sudah disediakan oleh pemodal-pemodal besar melalui liberalisasi ekonominya (neoliberalisme).
Dalam pandangan penulis, neoliberalime ini adalah transnasional multi-wujud sebagai sebuah strategi bukan ideologi, sekaligus merupakan kolonialisasi atau lebih tepatnya sering diistilahkan neo-kolonialisme (penjajahan baru). Dalam keyakinan penulis setiap kolonialisme adalah tidak adil dan berbahaya, maka ini yang perlu kita waspadai dengan selalu menjaga kedaulatan diri (bangsa) dan selalu awas dalam membaca gerak politik dunia secara menyeluruh (tidak parsial). Karena kesalahan diagnosa oleh seorang dokter pada penyakit pasiennya justru akan mengancam jiwa pasien itu sendiri, bukan??.[jf]

Read more...

POLITIK KEUMATAN NU

Oleh: Ja'far Shodiq

Ormas Islam terbesar di Indonesia bahkan di dunia, Nahdlatul Ulama, pada setiap mnghadapi Pemilu di negeri ini tampaknya selalu bergolak. Masih terngiang dalam ingatan kita ketika pada tahun 2004 yang lalu ketua umum PBNU, K.H Hasyim Muzadi mencalonkan sebagai wakil presiden berpasangan dengan Megawati, yang dihiasi "fatwa" dukung-mendukung oleh para kiai, ternyata membalik logika linier para kiai, bahwa warga Nahdlatul Ulama (NU) telah berpikir kritis dan rasional berhadapan dengan otoritas elite (struktur) NU dalam menentukan pilihan politiknya. Ini terbukti dengan kekalahan seorang ketua umum PBNU sebagai calon wakil presiden di republik ini.

Dalam momentum pemilihan kepala daerah Jawa Tengah (Pilgub) yang akan digelar sekitar bulan Juni 2008 juga tidak luput dari pergolakan politik warga NU. Hal ini bisa kita lihat dengan majunya ketua umum tanfidziyah NU Jateng, H. Muhammad Adnan sebagai calon wakil gubernur berpasangan dengan Bambang Sadono, ketua umum DPD Partai Golkar Jawa Tengah yang dideklarasikan pada 8 Nopember tahun ini di Kaliwungu Kendal. Tanpa hendak mendahului segala sesuatu yang akan terjadi dan kita belum mengetahuinya, apakah NU yang direpresentasikan oleh ketua-nya ini akan bernasib sama dengan pengalaman K.H Hasyim Muzadi ketika maju sebagai calon wakil presiden atau sebaliknya?

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengintervensi hak-hak privat, tapi sebagai generasi muda NU, penulis merasa perlu untuk share ide dalam rangka khidmat NU agar orientasi perjuangan NU tetap menitikberatkan pada kepentingan umat dan bangsa dengan payung agama Islam rahmatan lil ‘alamin sebagaimana latar belakang pendiriannya oleh Hadlaratus Syaikh K.H Hasyim Asy’ari bersama beberapa kiai lainnya.

NU memang didirikan untuk kepentingan politik, tapi lebih pada politik keummatan dan kebangsaan, bukan politik kekuasaan. Hal ini bisa dilihat dari kontribusi NU ketika melalui Hadlaratus Syaikh K.H Hasyim Asy’ari memfatwakan resolusi jihad demi menjaga kedaulatan bangsa dan kedaulatan umat. Resolusi jihad yang difatwakan pada 23 Oktober 1945 tersebut berisi tigaseruan penting. Pertama, setiap muslim -tua, muda, dan miskin sekalipun- wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia. Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada. Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati. Ini adalah sebagian dari sekian banyak bukti peran politik kebangsaan NU.

Tapi semenjak reformasi digulirkan di negeri ini, peran NU seolah bergeser, dari gerakan politik keummatan-kebangsaan menjadi gerakan politik kekuasaan. Tidak sedikit kita jumpai pejabat-pejabat struktural NU yang memanfaatkan jama’ahnya untuk mencalonkan diri dalam jabatan politik-kekuasaan (pemerintahan). Jarang kita jumpai gerakan NU yang melakukan pendampingan terhadap petani, pemberdayaan masyarakat ekonom lemah, dsb.

Kembali ke Khittah
Keputusan kembali ke Khittah NU 1926 yang dihasilkan oleh Muktamar NU ke 27 di Situbondo adalah merupakan komitmen yang telah disepakati secara kolektif (organisatoris) untuk gerakan keummatan NU di muka bumi ini. NU yang pada tahun 1955-1971 menjadi partai politik, sejak khittah NU 1984 berarti NU secara structural kembali kepada organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. Prinsip organisasi ini harus dijaga, sehingga NU tidak selalu menjadi tumbal politik hanya karena kelatahannya ikut-ikutan berebut kekuasaan.

Hari ini, dalam krisis multi-dimensi yang menimpa bangsa ini NU dituntut untuk mengorientasikan gerakan keummatan dan kebangsaan secara riil yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan umatdengan melakukan kerja-kerja sosial yang meliputi perbaikan hidup masyarakat, baik pendidikan, keagamaan, ekonomi, dan sosial.

Secara sederhana, kalau kita mau memahami khittah 1926 NU maka kita perlu mengingat kembali sejarah ketika jam’iyyah NU itu didirikan. Jam’iyyah NU dideklarasikan pada 31 Januari 1926/16 Rajab 1344 H di Surabaya. Kelahiran organisasi “kaum pesantren” ini dibidani KH Hasyim Asy'ari dan K. Wahab Hasbullah. Sebelum jam’iyyah ini dideklarasikan para kiai pesantren tersebut sudah melakukan gerakan-gerakan keummatan secara nyata, yaitu diantaranya dengan membentuk organisasi Kebangkitan Bangsa (Nahdlatul Wathan), organisasi Kebangkitan Pengusaha (Nahdlatu Tujjar), dan organisasi yang bergerak di bidang Konsptualisasi Pemikiran (Tashwirul Afkar).

Nahdlatul Wathan yang didirikan tahun 1916 oleh KH Wahab Hasbullah menjadi modal pertama mengorganisasi kelompok pesantren dalam agenda politik kebangsaan. Sesuai namanya, terbentuknya Nahdlatul Wathan didasarkan pada keinginan menumbuhkan semangat nasionalisme melalui pendidikan. Dua tahun berikutnya, 1918, KH. Wahab Hasbullah membentuk koperasi pedagang dikenal dengan Nahdlatu Tujjar yang mencerminkan kesadaran akan kepentingan ekonomi umat. Ini contoh dari gerakan keummatan yang telah dirintis oleh para pendahulu NU, bukan gerakan kekuasaan seperti yang terjadi di NU hari ini.

Para ulama pendiri NU berjuang dengan penuh keikhlasan untuk memelihara tradisi keagamaan yang sesuai dengan kultur masyarakat Jawa dengan berpegang pada prinsip-prinsip aqidah dan syariat Islam yang diseimbangkan (tawazun) dengan nilai-nilai luhur kebudayaan tanah Jawa. Mereka juga memegang prinsip toleransi (tasamuh) sebagai sebuah sikap menghargai pluralitas bangsa, menegakkan kemerdekaan (hurriyah) atas penjajahan ataupun kekuasaan yang hegemonik dan menindas, menegakkan keadilan (al-adlu) atas kesewenag-wenangan penguasa dalam menjalankan aturan-aturan untuk kepentingan umat, serta beperan dalam menciptakan perdamaian (al islah).

Politik Strategis bukan Politik Praktis
Adagium “NU ada dimana-mana tapi tidak kemana-mana” yang sering kita dengar hendaknya bisa menjadi refleksi gerakan keummatan kalangan NU struktural. Menurut penulis, untuk mengimplementasikan adagium ini bisa dengan melakukan tiga hal: Pertama, NU harus segera melakukan kaderisasi yang massif kepada warganya untuk menyiapkan SDM yang mampu memberikan solusi terhadap multi persoalan yang sedang dihadapi bangsa ini.
Kedua, NU perlu segera membagi peran (sebaran) kader yang sudah siap untuk berkompetisi ke berbagai sektor, baik sektor keagamaan, politik, ekonomi (modal), birokrasi, profesional, dsb. Ketiga, NU secara struktural (termasuk yang sudah berkomitmen menjadi pengurus) tidak boleh terlibat dalam kancah politik praktis karena pengurus NU dengan NU adalah ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Artinya kalau pengurusnya berpolitik maka NU juga berpolitik.
Dengan mengimplementasikan tiga hal di atas, maka gerakan politik yang dilakukan oleh NU adalah gerakan politik strategis bukan gerakan politik praktis. Karena politik praktis ini yang tidak dikehendaki oleh khittah NU 1926. Gerakan politik strategis adalah gerakan politik untuk kepentingan ummat dan bersifat jangka panjang, sedangkan gerakan politik praktis adalah gerakan politik untuk kepentingan kekuasaan dan terlalu sulit untuk menjadi ukuran gerakan kolektifitas. Apalagi bagi NU yang bukan organisasi politik.
Untuk menyelamatkan jam’iyyah NU agar tidak selalu dijadikan sebagai batu loncatan kekuasaan dan agar tidak terlalu jauh terjerembab dalam lumpur politik praktis, maka para kiai atau ulama sebagai penyangga organisasi Islam terbesar ini hendaknya bisa menjaga dan mengarahkan agar kebijakan jam’iyyah NU tetap berada dalam jalur yang semestinya, yakni jalur keummatan bukan jalur kekuasaan.[jf]

Read more...

Islam, Agama Berwatak Kemanusiaan

Oleh: Ja'far Shodiq

Ketika bangsa ini sedang terhimpit oleh krisis ekonomi, terbelit hutang, elite politik selalu berkonflik, dada kita disesakkan lagi dengan adanya kekerasan yang selalu saja terjadi sejak memasuki abad 21 ini. Bagaimana dada kita tidak sesak, kekerasan yang terjadi selalu mengatasnamakan agama, untuk membasmi kemaksiatan, untuk jihad membela Tuhan, dst. Apakah mereka tidak sadar bahwa tidak ada satu kalimatpun dalam agama, terutama Islam, yang mengajarkan atau memerintahkan untuk bertindak dengan kekerasan dalam menyelesaikan suatu masalah??
Mereka tidak sadar, bahwa seolah-olah mereka akan membasmi kemaksiatan tapi sebenarnya yang mereka lakukan itu juga merupakan kemaksiatan, kenapa kemaksiatan? Karena segala kekerasan yang merugikan pihak lain adalah bentuk kemaksiatan yang ditentang oleh Islam, dan penulis yakin semua agama juga menentang kekerasan dalam bentuk apapun.

Seharusnya di tengah himpitan krisis multi-dimensi ini, umat beragama termasuk umat Islam segera menghentikan perilaku sektarianismenya menuju pada upaya pencarian solusi atas problem krisis ekonomi dan politik bangsa. Dalam Islam, Rasulullah sudah menegaskan bahwa perbedaan adalah rahmat (Al Ikhtilafu hua Rhmah), jadi kalau kita melakukan kekerasan se-keras apapun untuk menyamakan sesuatu yang berbeda maka sama halnya dengan kita melakukan penebaran virus kebencian dan menghilangkan rahmat itu sendiri. Bukankah kita semua sudah tahu bahwa Allah tidak akan mengutus Muhammad kecuali untuk memberikan rahmat bagi semesta alam??
Untuk ikut berupaya meningkatkan kehiduapan yang berdaulat di negeri ini, maka Islam bisa dijadikan sebagai etos. Islam adalah agama untuk kepentingan kemanusiaan bukan untuk kepentingan Tuhan.
Islam Sebagai Kritik
Islam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah untuk kepentingan kemanusiaan harusnya bersikap dan dijadikan semangat kritik oleh umatnya ketika jutaan rakyat menjerit oleh pemiskinan yang terus berlangsung akibat kenaikan BBM, penggusuran dan PHK? Di manakah teriakan jihad Allahu Akbar!! ketika bangsa ini diambang kebangkrutan saat BUMN digadaikan kepada pihak asing? Apa yang umat Islam lakukan ketika bangsa ini digerogoti oleh korupsi sementara hutang terus bertambah dan akan dibayar oleh sepuluh generasi kita mendatang? Kemana pendekar-pendekar berjubah itu ketika ribuan saudara-saudara kita diusir dari Malaysia? Mereka dipenjarakan, dicambuk, diperkosa, diinjak-injak harga dirinya dan dihina martabatnya sebagai manusia, dimanakah peran dari agama keselamatan (Islam) itu??.
Fenomena di atas semakin menunjukkan bahwa sejatinya manusia semakin tecerabut dari kemerdekaannya, dalam arti pola pikir dan perilakunya secara tidak sadar telah dibentuk oleh sturktur ideologi besar kapitalisme, sehingga mayoritas manusia (termasuk umat Islam) lebih mengorientasikan hidupnya pada kebutuhan materiil semata dengan nalar ego-sentris, merasa paling benar sendiri, pragmatis, konsumtif, hedonis, modis, dst. Sehingga lalai terhadap tugas utamanya sebagai manusia untuk menebar rahmat dan keselamatan di jagad raya ini.
Islam sebagai agama yang diturunkan bagi keselamatan hidup umat manusia harus mampu diperankan oleh umat atau pemeluknya untuk melakukan perubahan secara fundamental terhadap struktur atau sistem yang sudah sedemikian menjauh dari keberpihakan terhadap kepentingan kemanusiaan. Artinya Islam harus dijadikan sebagai semangat kritik terhadap realitas kehidupan yang semakin tidak manusiawi, yang di era pasar bebas ini segala sesuatunya dikendalikan oleh pasar atau lebih tepatnya pemilik modal (kapital). Sementara pemerintah juga tidak mempunyai kemampuan untuk melawannya bahkan yang terjadi adalah meng-amininya, untuk mengganti istilah ekstrim menjadi JONGOS pemodal internsional. Hal ini terbukti dengan kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah yang selalu didasarkan atas kebutuhan pasar bukan kebutuhan rakyat atau kaum lemah.
Maka Islam sebagai kritik atas kehidupan yang semakin mengalienasikan nilai-nilai kemanusiaan di sini, lebih dititik tekankan pada kesadaran penuh bahwa dalam Islam, manusia diposisikan sebagai pemimpin di muka bumi (khalifatullah fi al ardli) yang meniscayakan peran perubahan, sebagai mandat atas penciptaannya untuk selalu konsisten (istiqomah) melakukan perjuangan demi kepentingan kemanusiaan di tengah tatanan sosial kehidupan masyarakat yang semakin jauh dari prinsip-prinsip Islam yang mencakup segala aspek kehidupan (kaffah), yang berdiri di atas prinsip keseimbangan (tawazun), jalan tengah (tawasuth), kesamaan dalam hak (sawa'), toleran dalam sosial kemasyarakatan (tasamuh), mengedepankan prinsip keadilan dalam berpolitik (ta'adl), dan kemerdekaan dalam menjalani hidup (al hurriyah), serta beperan dalam menciptakan perdamaian (al islah).
Perubahan yang harus diupayakan oleh Islam tidak hanya untuk menjawab pertanyaan konteks sosial dalam situasi yang sedang berlangsung, tetapi lebih jauh adalah untuk melakukan transformasi kebudayaan (membudayakan) prinsip-prinsip dan nilai-nilai ajaran ke-Islaman yang berorientasi pada kepentingan kemanusiaan demi tegaknya keadilan, pencerdasan umat, dan penghormatan atas perbedaan (pluralitas).
Pada hakikatnya, Islam sebagai agama yang dirisalahkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW adalah untuk menwajab segala persoalan yang akan terjadi di muka bumi, pada saat itu, saat ini, dan pada masa yang akan datang, tak terbatas, hingga usia bumi atau alam semesta ini berakhir (al-Islam yasluhu li kulli makanin wa zamanin).
Hal senada diungkapkan oleh M. Iqbal sebagai kritik atas umat Islam, bahwa Islam adalah agama yang lebih mengutamakan karya (proses) dan bukan cita-cita (tujuan). Tak bisa disangkal, realita selalu berubah dan berkembang, tapi konsep kita tidak pernah berkembang. Perjuangan kita menjadi semacam perjuangan emosional, sloganistis dan simbolik. (Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib, 1998)
Maka meminjam bahasa MN Harisuddin (dalam Islam Terapan), “Islam adalah agama moral” sehingga Islam tidak saja menerapkan ajaran ritualistik atau normatifnya, tetapi juga menuju upaya praksis yang membawa umat pada tuntunan yang lebih baik.
Maka Islam harus dimaknai sebagai semangat pembeasan untuk ‘memanusiakan’ kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang menindas, membodohi, memiskinkan dan tidak adil. Hal ini harus diyakini sebagai perintah Allah atas manusia sebagai makhluk-Nya, yang mempunyai tugas ke-khalifahan untuk melakukan pembebasan terhadap kejahiliyahan system dan struktur kekuasaan yang menindas. Hal serupa juga-lah yang telah dicontohkan oleh Nabi besar Muhammad SAW ketika melakukan gerakan revolusioner merubah kehidupan jahiliyah (kebodohan, kerusakan, dan penindasan) menjadi kehidupan Islamiyah (keselamatan & kesejahteraan).
Evaluasi atas Perilaku ke-Islaman
Bagi penulis, Islam dengan pelbagai jenis ritualnya perlu untuk dievaluasi kembali (bukan dihilangkan), karena yang dapat dilihat hingga hari ini, ritualitas dalam ajaran Islam tidak nampak menghadirkan ketaatan yang disertai perilaku utuh dalam hal kebajikan, dengan melakukan perlawanan terhadap adanya ketidakadilan, penindasan, pemiskinan, pembodohan, dan segala macam persoalan sosial yang secara sistemik telah merenggut manusia dari hakikat kemanusiaannya yang merdeka. Sehingga banyak pengamat sosial yang mengatakan di tengah-tengah kehidupan umat manusia ini telah terjadi dehumanisasi.
Sebagai contoh, ibadah ritual sholat seharusnya tidak hanya meningkatkan kesalehan secara individu saja, tapi mereka menjadi terketuk hatinya untuk menjalankan separuh hidupnya untuk kemakrufan (memperjuangkan peningkatan kehidupan yang lebih baik). Pada bulan ini umat Islam juga sedang menunaikan ritual agung berupa Puasa Ramadhan, seharusnya dari puasa yang intinya adalah untuk mengendalikan diri dari berlebih-lebihan dalam memenuhi kebutuhan nafsu duniawinya. Dan di bulan Ramadhan ini sebetulnya merupakan momentum bagi umat Islam untuk dapat merenungkan lapar dan kesederhanaan dari puasa sehingga timbul semangat untuk senantiasa berbagi kepada yang masih hidup dalam kekurangan dan ketertinggalan (kaum mustad'afin).
Maka kemasan Islam yang selama ini oleh para “elitenya” dalam setiap dakwah hanya dijadikan sebagai ajaran tentang ritual-normatif sehingga acap kali abai dengan persoalan psikhis pemeluknya, karena kebanyakan sang 'juru dakwah' sering tidak tepat memberi obat yang mujarab untuk mengobati penyakit umatnya dikarenakan kurang memahami persoalan yang sesungguhnya terjadi.
Demikianlah kenyataannya, karena Islam lebih diajarkan untuk aspek-aspek yang sifatnya lahiriah, bukan batiniah pemeluknya. Hal inilah yang berakibat pada doktrinasi dalam Islam yang cenderung kaku dan rigid serta hanya mengedepankan legal-formalnya belaka. Dalam bentuk ini, doktrin Islam justru tidak menyentuh akar subtansi, yang seharusnya lebih mengedepankan ajarannya untuk memberikan kemaslahatan umum (al-maslahat al-ammah). Hal inilah yang menjadi inspirasi utama dari penulis bahwa perlu dikampanyekan secara massif tentang hakikat Islam dirisalahkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah untuk kepentingan kemanusiaan bukan kepentingan Tuhan.
Maka agar tidak larut dalam pola keIslaman yang normatif-ritualistik dan tidak memberi solusi bagi persoalan yang dihadapi umat, setidaknya untuk kalangan yang peduli dan mempunyai basis keilmuan tentang Islam diperlukan kajian secara utuh dengan tiga pendekatan.
Pertama, menganalisis secara tajam dan utuh (komprehensif) terhadap kenyataan yang sesungguhnya terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat, bangsa, negara, atau bahkan dunia. Karena bukan suatu hal yang mustahil persoalan kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, dan seterusnya yang menghimpit kehidupan masyarakat kita ini adalah akibat dari sistem (seperangkat aturan) yang tidak benar atau kurang benar.
Kedua, Mengkaji secara utuh teks keagamaan (Islam) dengan memposisikan fakta sebagai basis analisis bukan teks yang dijadikan basis analisisnya. Artinya kontekstualisasi kajian teks adalah sebuah keniscayaan untuk melakukan kajian Islam Kritis yang beroriantasi pada pemerdekaan dan pembebasan atas umat manusia dari ketidakadilan, pembodohan, dan penindasan.
Ketiga, secara personal akan lebih baik kalau dalam mewujudkan ke-Islamannya, umat Islam mebiasakan diri dengan mengintegrasikan antara dzikir, fikir, dan amal shaleh. Dzikir adalah kebutuhan manusia dalam dimensi spiritual, yang merupakan bentuk penghambaan diri sebagai makhluk yang diciptakan untuk menyembah ('abdullah). Fikir adalah kebutuhan manusia dari dimensi intelektualitas atau akal, hal ini merupakan perwujudan manusia sebagai makhluk yang diciptakan paling sempurna (laqad khalaqna al insana fi ahsani taqwim) dengan anugerah akal, cipta, rasa, dan karsa dari Allah SWT. Sedangkan Amal Shaleh adalah perwujudan peran manusia dalam dimensi sosial untuk memerankan diri sebagai khalifatullah fi al ardli, yang mempunyai kewajiban untuk menjaga keharmonisan hidup di muka bumi ini.
Dengan tiga pendekatan ini diharapkan akan benar-benar terwujud hakikat Islam sebagai agama yang dirisalahkan untuk memberikan rahmat dan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Amin… [jf]

Read more...