Kamis, 13 Maret 2008

Mengurai Pengentasan Kemiskinan & Pengangguran di Jawa Tengah

Oleh Ja'far Shodiq

Permasalahan strategis di pemerintahan Propinsi Jawa Tengah tidak jauh berbeda dengan di pemerintahan pusat (problem nasional), yakni tingginya angka kemiskinan dan semakin meningkatnya jumlah pengangguran. Maka menjadi tanggung jawab bersama, terutama pemerintah dan partai politik, sebagai penyangga proses perbaikan kehidupan masyarakat dalam sebuah pemerintahan, untuk segera mencari jalan keluar dengan merumuskan langkah-langkah yang sistematis dan strategis sebagai upaya pengentasan kemiskinan dan pengangguran tersebut.

Kalau kita refleksikan secara mendalam, realitas bangsa sampai dengan hari ini masih dilingkupi oleh banyak persoalan yang secara langsung maupun tidak langsung berakibat terhadap meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran. Diantaranya adalah ketidakstabilan sosial yang masih berlangsung akibat konflik, ketidakpastian ekonomi terus berlanjut setelah melalui masa-masa inflasi tingkat tinggi, perekonomian dunia telah mengalami resesi mendalam dibarengi dengan laju suku bunga riil yang tinggi, fluktuasi valuta asing yang tidak sehat, laju suku bunga riil tetap tinggi dan ini diperkirakan akan terus meningkat, sehingga mengakibatkan kecemasan adanya penyembuhan ekonomi negara yang akan gagal.

Krisis ini juga diperburuk oleh berbagai bentuk ketidakadilan sosio-politik dan ekonomi. Monopoli aset oleh sekelompok orang (kroni atau elite), tingginya jumlah pejabat yang berlaku korup, mandulnya supremasi hukum, ketidak-mandirian pemerintah dalam menentukan kebijakan ekonomi karena didikte oleh lembaga-lembaga keuangan internasional, dsb.

Jawa Tengah sebagai daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) cukup tinggi perlu segera menata diri untuk mewujudkan kemandirian ekonomi masyarakat. Kekayaan Jawa Tengah yang meliputi pertanian, kelautan, kehutanan, tambang, industri, budaya dan wisata merupakan aset yang luar biasa. Maka, sebagaimana amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3, kekayaan alam tersebut harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat bukan untuk dimonopoli oleh pemodal (baik dalam negeri maupun asing). Dengan kekayaan alam yang luar biasa ini cukup ironis kalau penduduk di Jawa Tengah masih tinggi angka kemiskinan dan penganggurannya.

Sampai hari ini pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah masih mengandalkan berbagai sektor di atas. Berdasarkan data dari Kompas (30/12/06), pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah antara lain ditopang oleh sektor pertanian (5,33 persen), pertambangan (2,73 persen), industri (6,41 persen), listrik, gas, dan air bersih (8,65 persen), gedung (7,84 persn), perdagangan, hotel, dan restoran (2,63 persen), keuangan (2,67 persen), jasa (5,58 persen) serta transportasi dan komunikasi (4,67 persen). Hal ini secara tidak langsung justru menunjukkan Jawa Tengah sebagai sebuah provinsi masih mempunyai ketergantungan terhadap sektor pertanian dan peternakan.

Kemiskinan dan Pengangguran di Jawa Tengah
Tingginya angka kemiskinan di Jawa Tengah setidaknya dapat dilihat berdasarkan data dari BPS yang menunjukkan bahwa perkembangan penduduk miskin di Jawa Tengah pada tahun 2003 = 6,90 juta jiwa (21,78 %), 2004 = 6,80 juta jiwa (21,11 %), 2005 = 10,80 juta jiwa (32,81 %). Selain itu, data dari PKPS-BBM SLT pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2006 adalah 2005 = 10,8 juta jiwa (32,81 %), 2006 = 12,68 juta jiwa (38,53 %).

Kriteria kemiskinan yang selama ini dijadikan standar oleh BPS adalah mencakup 14 variabel; (1) Luas lantai bangunan tempat tinggal, (2) Jenis lantai bangunan tempat tinggal, (3) Jenis dinding, (4) Fasilitas buang air besar, (5) Sumber air minum, (6) Sumber penerangan utama rumah tangga, (7) Bahan bakar memasak sehari hari, (8) Kemampuan mengkonsumsi daging, ayam, susu/ per minggu, (9) Frekuensi makan per hari, (10) Kemampuan membeli pakaian setiap tahun, (11) Kemampuan membayar untuk berobat ke Puskesmas/Poli, (12) Lapangan pekerjaan kepala rumah tangga, (13) Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga, (14) Pemilikan aset/tabungan.

Terlepas dari perdebatan yang sering muncul mengenai standart/kriteria dari pemerintah dalam mengukur penduduk miskin di atas, tapi setidaknya kriteria-kriteria di atas sudah cukup menjadi acuan dalam melihat realitas kehidupan masyarakat Jawa Tengah yang masih mengalami kesulitan dalam memaksimalkan SDA yang melimpah untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Dalam kaca mata pemerintah, melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), kemiskinan penduduk di atas adalah disebabkan oleh dua faktor. Pertama, faktor internal yang meliputi; rendahnya pendapatan, rendahnya posisi tawar penduduk miskin, dan budaya hidup yang tidak mendukung. Kedua, faktor eksternal meliputi; rendahnya akses terhadap sumber daya dasar, terjadinya perbedaan kesempatan diantara anggota masyarakat, belum terwujudnya tata pemerintahan yang bersih dan baik, terjadinya konflik sosial dan politik, terjadinya bencana alam, serta kebijakan publik yang kurang peka dan kurang mendukung upaya penanggulangan penduduk miskin. (Bappeda, 13/8/07)
Sedangkan untuk masalah pengangguran, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Tengah memprediksikan jumlah pengangguran di Jawa Tengah akan bertambah. Yaitu tahun 2008 diprediksi jumlah penganggur di Jawa Tengah 1.022.406 orang. Ini tidak akan terselesaikan mengingat penanganan pengangguran sangat terbatas. Pada tahun 2006 ditargetkan penanganan pengangguran 94.591 orang, pada tahun 2007 hanya 150.862 orang, dan di tahun 2008 sebanyak 210.080 orang (Kompas, 9/12/2005). Kalkulasi tersebut dengan asumsi laju pertumbuhan sesuai target dan nilai investasi sesuai yang diprediksi.
Berdasarkan Survei Tenaga Kerja Nasional Badan Pusat Statistik sejak tahun 1996 hingga tahun 2005, angka pengangguran terbuka terus bertambah rata-rata 5,5 persen per tahun, sedangkan angkatan kerja baru terus bertambah rata-rata 1,9 juta per tahun. Menurut BPS, lapangan kerja akan bertambah sedikitnya 200.000 untuk tiap pertambahan satu persen pertumbuhan ekonomi. Versi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2004-2006, rata-rata pertambahan pengangguran terbuka 9,5 persen per tahun, sedangkan angkatan kerja baru bertambah 1,9 juta per tahun.

Untuk mengatasi persoalan kemiskinan dan pengangguran di atas, setidaknya kita perlu memperhatikan beberapa hal; Pertama, peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Kedua, melakukan perluasan dan pengembangan kesempatan kerja. Ketiga, peningkatan pelayanan bagi penduduk miskin, terutama masyarakat terpencil. Keempat, peningkatan kualitas SDM dengan membuka akses pendidikan seluas-luasnya bagi masyarakat agar mampu mengelola SDA yang ada. Kelima, membuka akses ekonomi secara luas baik di tingkat regional maupun global. [jf]

2 komentar:

wayangmanggung mengatakan...

masih berpolitik kang...:D

Anonim mengatakan...

SAlam bang jakfar...

wah antum sekarang tinggal dimana ni bang..

met sukses aj bang..

mampir blog q bang jakfar..

wasslmm..